Jakarta-beritaplus.id | Dunia sedang resah. Pengelolaan hutan dan ekosistemnya babak belur, pemanasan global meningkat membawa-bawa nama Indonesia sebagai emiter karbon terbesar di dunia.
Di lautanpun perusakan ekosistem laut dan pencemarannya dari racun berbahaya dan derasnya aliran sampah dari Indonesia menjadi topik hangat dunia.
Meski tidak semua sampah plastik berlabel Indonesia bisa datang dari negata lain di pulau sampah Samodera Atlantik tersebut (Retno Hastiningsih, 2022).
Demikian kupasan umum rimbawan senior Dr. Ir. Transtoto Handadhari, M.Sc., kepada media dan media sosial baru-baru ini yang diharapkan bermanfaat bagi pemerintahan mendatang.
Untuk Indonesia, negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Republik Kongo itu, banyak masalah pokok yang menyebabkan kerusakan hutan yang sangat parah yang memuncak pada akhir era 1960-1980an.
Deforestasi dan degradasi serta proses alih fungsi hutan menjadi kebun dan tambang terjadi sangat masif dan berulang tanpa hambatan.
Era keemasan hutan meninggalkan cerita buruk. Meninggalkan hutan dan tanah belukar seluas lebih dari 60 juta hektar yang untuk mengembalikan hutannya butuh waktu ratusan tahun dan dana sampai Rp7.500 triliun.
Perubahan politik desentralisasi daerah dimulai tanggal 1 Januari 2001yang dipaksakan untuk semua sektor kecuali hankam, agama, kebijakan luar negeri dan hanya beberapa yang khusus seperti BUMN Kehutanan Perum Perhutani.
Kebijakan tersebut menimpa pula pengelolaan hutan dan lingkungan yang menjadikannya tercerai berai. Pola sentralisasi pengurusan lingkungan itu telah dipecahbelah kesatuannya oleh kebijakan kedaerahan yang orientasinya cenderung kekuasaan "pribadi" dan diciptakannya batas-batas administrasi pemerintahan menjadikan hutan rawan rusak.
Bahkan sebelum era desentralisasipun konon negeri ini pernah dituduh menjadi negara yang deforestasinya terbesar di dunia. Dan nilai manajemennya NOL. Jadi apa poinnya?
Meskipun sempat reda karena sudah tidak ada lagi hutan yang menguntungkan untuk dirusak dan munculnya usaha-usaha swasta serta dorongan pemerintah seperti industri pulp dan kertas dengan berkembangnya penanaman HTI, inisiasi sistem silvikultur khusus dari UGM Yogyakarta (Prof. Soekotjo, 2003), dan banyaknya tekanan LSM baik dari luar dan dalam negeri, perbaikan hutan mulai berjalan membaik.
Namun peluang perusakan hutan muncul kembali sekitar pertengahan dekade 2010-2020 sampai sekarang, dimana kepentingan masalah pangan lebih ditonjolkan dibandingkan perlunya pelestarian hutan dan penghindaran derita masyarakat dari bencana lingkungan.
Kebijakan politik kekuasaan nampak berperan besar dalam pengelolaan hutan. Kesulitan ekonomi masyarakat justru semakin mendukung ketidakadilan lingkungan terdesak oleh kebutuhan perut ditambah dengan sifat dan kesadaran berbudaya cheating (curang) yang sulit dibendung di semua lapisan masyarakat kita.
Baca juga: Sambel Ijo Raja Basa Ponorogo Gelar Tasyakuran Pelantikan Presiden Prabowo-Gibran
Bahkan Deklarasi Gunung Kidul 22-2-22 yang dilakukan Transtoto dan YPHI bersama perwakilan Menteri LHK dan Sultan HB Ke X untuk sepakat "Memuliakan Hutan Tanpa Kecurangan" diabaikan.
Kerusakan hutan yang diawali di daerah-daerah pulau besar di luar Jawa, kini bergeser dan intens di Jawa yang dulu dikenal subur loh jinawi kerta raharjo itu, juga didorong oleh penataan ruang daratan yang tidak tepat.
Penetapan hutan lindung berdasarkan SK Mentan Nomor 837/1980 yang hanya menggunakan variabel curah hujan, jenis tanah dan kelerengan dengan perangkat peta manual yang kadang banyak pesanan jelas sangat lemah dan harus diremajakan menggunakan variabel tambahan serta tehnologi yang paling modern seperti yang telah dilakukan untuk Pulau Jawa oleh Transtoto dan M. Firman Fahada. (2003).
Pemerintah terkait (jajaran KLHK) sebenarnya sudah berupaya melakukan rehabilitasi lahan hutan dan penyejahteraan masyarakat. Tetapi lebih banyak yang larut dalam eforia mendahululan urusan "perut" dan mengabaikan fungsi ekosistem lingkungan.
"Pemerintahan Prabowo diharapkan melanjutkan pengembangan hasil-hasil prestasi Presiden Jokowi. Namun dengan lebih mempertimbangkan pembangunan berwawasan lingkungan. Apalagi pembangunan hutan beserta masyarakat serta bio-ekosistem dan plasma nutfah hutannya sangat langka dan harus diutamakan", saran Transtoto yang mantan Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008, dan lulusan UGM Yogyakarta serta University of Wisconsin of Madison, USA itu bersemangat.
"Yang utama harus dilakukan adalah perbaikan fungsi hutan dan ekosistemnya secara cepat, luas, meskipun bertahap. Targetnya bukan hanya hutan hijaunya, kecuali di kawasan lindung yang membutuhkan pohon akar dalam dan serapan karbon serta produksi oksigen. Tetapi juga kualitas ekonominya bagi kesejahteraan dan pembangunan. Sementara Pulau Jawa yang padat penduduk dan sangat rentan bencana banjir dan erosi yang butuh sedikitnya 60 persen kawasan lindung agar diutamakan", katanya.
"Untuk menyelamatkan daratan dari bencana lingkungan dapat dikelola dengan penanaman type hutan-kebun yang luas di lahan masyarajat disamping di kawasan hutan Perhutani yang baik karena masih menggunakan pola pengelolaan hutan sentralitas dengan baik namun dipersempit luasannya. Pemilihan komoditi yang penting, yang diperlukan publik, hemat lahan, hasilnya sangat berguna dan komersial perlu diprioritaskan termasuk di hutan luar Jawa seperti herbal bernilai medis yang sedang booming tersebut", seru Transtoto yang dulu penulis opini yang handal di harian Kompas, Gatra, Agro-Indonesia, Majalah KAGAMA, Bina Lingkungan dan Jurnal Rimba Indonesia dan lainnya. Dan sempat menjadi Jubir yang komunikatif Departemen Kehutanan.
Baca juga: Majlis Sholawat Sekar Langit Sukses Gelar Festival Hari Santri 2024 di Baosan Kidul
"Problematika kehutanan yang sangat luas memaksa terbentuknya pengorganisasian khas kehutanan yang khusus".
"Penanganan DAS juga harus diprioritaskan kembali. Pemanfaatan vegetasi biofuel bocor getah seperti Pongamia sp (Robert Susanto), dan getah Pinus merkusii sp serta getah lem yang melimpah dari pohon jaranan (Wawan Triwibowo) dan Porang (Ida Jatiana) perlu diintensifkan".
"Masyarakat umum dan masyarakat adat terus disertakan secara efektif dengan wadah semacam CORE di Kanada sebagai bentuk pengawasan kuat masyarakat untuk pengelolaan hutan dan ekosistem lingkungan dibentuk melalui UU dan atau PERDA".
"Penggunaan tehnologi antara lain akan memfokuskan penyelesaian sengketa fungsi kawasan yang cepat dan efektif".
"Sedangkan serapan karbon yang merupakan problem global harus didukung penuh Indonesia yang seharusnya berperan lebih besar memanfaatkan potensi hijau yang terluas ketiga di dunia itu", simpul Transtoto yang saat ini sedang menginisiasi dan merintis usaha pelestarian marine ekosistem bersama Prof. Dr. Emil Salim, Eddy Limantoro, Wiratno, Irjenpol (P) Bekto Suprapto, Ibong Sjahruzah, Asep Karsidi beserta para mantan karyawan Kementerian LHK, Perhutani, akademisi, dan kawan-kawannya disupport oleh BAPPENAS.
"Secara detil arah pembangunan hutan dan ekostemnya di era Pak Prabowo telah seharusnya mempertimbangkan kelestarian hutan dan lingkungan yang lebih intens serta rimbawan yang Patriotik untuk kelestarian hutan termasuk hutan lautan, kesejahteraan rakyat dan lajunya pembangunan", pungkasnya kepada media.
(Suci/Trans)
Editor : Ida Djumila