Mojokerto-beritaplus.id | Menyusuri hutan cemara menggunakan motor dengan akses jalan yang masih bebatuan di lereng pegunungan welirang.
Mendengar kicau burung dan sejuknya udara membuat lelah tak lagi terasa. Perjalanan kali ini hingga diketinggian 1300 mdpl bukan tanpa tujuan, melainkan untuk menemui Sanyoto di kebun kopi miliknya. Sanyoto (57) warga Ketapanrame, Trawas Mojokerto merupakan salah satu dari 284 petani kopi yang ada.
Perkebunan kopi di Trawas sebetulnya ada sejak jaman penjajahan Belanda, dari beberapa pohon kopi liar jejak jaman belanda yang masih tersisa, masyarakat mulai membudidayakan kembali pertanian kopi untuk mengangkat sektor ekonomi.
Trawas dengan perkebunan kopinya punya koleksi lengkap varian kopi, Arabica, Robusta, juga Luberica. 7 tahun terakhir perkebunan kopi mulai digarap serius oleh pak Sanyoto yang juga menjabat ketua Gapoktan Morodadi.
"Awalnya saya bisnis pete yang harus kirim luar kota terus dan jarang pulang. Akhirnya saya memutuskan menjadi petani kopi di Trawas agar bisa kumpul keluarga terus" Ungkap bapak yang akrab dipanggil Sanyoto pete ini.
Kisaran 2 ton dalam setahun hasil dari kebun kopinya sudah bisa dinikmati, belum lagi menampung hasil petani kopi dari kelompoknya.
Sementara ini pasar kopi beliau dari Malang, Surabaya, Sidoarjo, bahkan sampai jakarta. Tentu saja juga dari kedai-kedai kopi disekitarnya.
Tidak berhenti dibiji kopi mentah, Sanyoto dibantu istrinya Nurni (50) juga belajar merosting kopi hingga tercipta macam-macam varian kopi.
Menarik lagi kulit kopi pun diolahnya menjadi serbuk teh yang katanya manjur untuk diet. Harga yang dibandrol kopi dengan merk dagang Bontugu milik Sanyoto mulai 40 rb /kg hingga 400 rb /kg jenis kopi luwak, dengan pilihan vermentasi full wash, honey, dan natural.
Trawas sebagai kawasan wisata menjadi faktor penunjang pemasaran komuditi kopi, sehingga produk kopi khas Trawas tidak susah dalam pemasaran. (bw)
Editor : Redaksi