Opini : Dr. Sugeng Wibowo, MH.
Hari-hari ini merupakan fase paling mendebarkan dalam kontestasi pilkada 2024 yaitu menunggu rekomendasi dari Parpol sebagai syarat untuk berlaga.
Gejala anomali politik nasional sejak sepuluh tahun terakhir semakin menyulitkan berbagai kalangan untuk memprediksi tren perjalanan dan arah kehidupan kebangsaan.
Dari sisi filsafat ilmu, sejumlah pengetahuan mengalami proses positifisasi dimana satu gejala empiris bisa diamati dengan standar rasional yang terukur.
Tatanan sosial politik dipandu melalui sejumlah aturan hukum yang dibentuk melalui prosedur yang telah ditentukan.
Bahkan Hans Kelsen tokoh pemikiran hukum murni secara ekstrim berusaha membersihkan hukum dari anasir non-yuridis seperti aspek sosiologi, politik, historis bahkan etis. Sekalipun kontroversial, pemikiran ini direspon dengan menyandingkan secara berhadapan teori hukum alam yang tetap mempertimbangkan aspek lain termasuk etika berbasis spiritual dan agama.
Perkembangan pemikiran yang dinamis tersebut dapat memperkaya wawasan sekaligus memberikan tafsir yang sehat terhadap doktrin negara hukum (rechstaat).
Pilkada merupakan bagian dari aktifitas politik untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dengan bermartabat. Dalam prakteknya terdapat dua corak perilaku politik untuk mendapatkan posisi tertentu yaitu menyalurkan hasrat politik individu dan dorongan untuk berperan merubah tatanan sosial yang lebih baik.
Bentuk luaran dari corak pertama akan menghasilkan perilaku politik yang secara sederhana diwakili dengan kalimat menghalalkan segala cara.
Kepemimpinan bentuk inilah yang sering diingatkan melalui filsafat jawa berupa bergabungnya tiga anasir yang akan merusak pribadi dan masyarakat, yaitu harta, tahta dan wanita.
Dalam sistem demokrasi yang sehat , tiga ta tersebut menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan. Sedang pada corak kedua, merupakan tahapan kedewasaan politik yang menempatkan kepentingan pribadi dibawah kepentingan masyarakat luas.
Perilaku politik Inilah yang oleh aristoteles dipahami sebagai upaya yang ditempuh masyarkat sipil untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Menjelang Pilkada Ponorogo 2024 Partai Amanat Nasional (PAN) tampaknya kembali terjebak dalam putaran politik praktis yang mengesampingkan aspek etik.
Terdapat dua peristiwa yang 'menyulitkan' posisi partai ini terutama pada tahap memperebutkan rekomendasi bagi bakal calon bupati yang berlaga, yaitu pertama ; kehadiran beberapa orang yang mengatasnamakan Muhammadiyah Ponorogo ke kantor pusat PAN dan mereka mengusung balon bupati dari partai lain.
Sedangkan di lingkungan ormas modern terbesar ini masih mendukung petahana yang salah satunya terikat komitmen dengan ormas keagamaan lain. Kelompok ini secara konsisten selalu melakukan hal yang sama suka mengklaim representasi Muhammadiyah tidak hanya dalam kontek pilkada.
Kedua, tawaran dari salah satu pejabat teras PAN Pusat yang tidak rasional dan tidak etis dalam kontek kondisi keuangan Ponorogo.
Sebagaimana diketahui bahwa APBD Kabupaten Ponorogo termasuk tidak besar dan sedang menghadapi effek kebijakan refokusing untuk menghadapi covid 19 beberapa waktu lalu.
Dalam situasi keterbatasan tersebut tidak etis apabila rekomendasi partai harus ditukar dengan kewajiban alokasi anggaran dengan jumlah besar hanya pada satu sektor saja, misalnya pertanian.
Rekomendasi PAN akan menjadi batu uji terhadap komitmen etis sebagai partai yang memiliki hubungan historis dengan Muhammadiyah. Salah menentukan pilihan akan berdampak besar terhadap perkembangan partai ini kedepan. Wallohu a'lam
Penulis adalah dosen Umpo dan Wakil Ketua Muhammadiyah Ponorogo.
Editor : Ida Djumila