Yogyakarta - beritaplus.id | Global Conference on Women’s Rights in Islam (GCWRI) di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) yang berlangsung pada 14 – 16 Mei 2024 menjadi ruang bagi Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) Indonesia untuk menyuarakan gerakan ecofeminism, sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat yang damai dan adil. Hal tersebut diperbincangkan dalam talkshow bertema ‘Ecofeminism dan Kebebasan Beragama & Berkeyakinan: Memperkuat Peran Perempuan dan Anak Muda dalam Merawat Kerukunan Lintas Iman dan Pembangunan Perdamaian di Indonesia’ pada 15 Mei 2024 di Ruang Pertemuan Lantai 2 Gedung Siti Munjiyah UNISA Yogyakarta.
“Talkshow ini diselenggarakan oleh 10 mitra JISRA Indonesia yang bekerja sama mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” ungkap Mutiara Pasaribu, Country Coordinator JISRA Indonesia. “Kerja kita semua beragam, dan kerja-kerja lingkungan menjadi salah satu bagian dari kerja besar kita bersama,” sambungnya di hadapan 53 orang peserta yang hadir.
Baca juga: JISRA Indonesia Suarakan Ecofeminism Dan Kerukunan Lintas Iman Dalam GCWRI
Ia menegaskan bahwa hasil pertemuan ini bisa menjadi pembelajaran bagi mitra JISRA di negara lain. Apalagi JISRA memiliki jaringan yang sangat luas. JISRA merupakan konsorsium global yang bekerja sama untuk merawat keberagaman dan mempromosikan toleransi lintas kelompok agama dan keyakinan. Konsorsium ini terdiri dari 50 mitra lokal di Ethiopia, Indonesia, Irak, Kenya, Mali, Uganda dan Nigeria. Di Indonesia, terdapat sepuluh organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam konsorsium ini, yaitu AMAN Indonesia, Fahmina Institute, Fatayat NU Jawa Barat, Jaringan GUSDURian, Imparsial, DIAN Interfidei, Institut Mosintuwu, Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Peace Generation.
Judy Amoke, Programme Manager Faith to Action Network, salah satu penyelenggara GWCRI menegaskan bahwa program JISRA secara khusus mendorong keterlibatan pemuda dan perempuan, sehingga semua yang hadir di talkshow ini bisa saling berbagi pengalaman. “JISRA membangun jembatan dengan memastikan kerja sama antaragama dan hubungan antaragama, sehingga kita dapat bekerja sama untuk komunitas yang harmonis,” imbuh Judy.
Sedangkan Stephanie Joubert, Programme Manager Freedom of Religion & Belief Mensen Met Een Missie, menjelaskan pentingnya mendokumentasikan kerja-kerja baik JISRA dari berbagai lokasi yang berbeda di Indonesia dari beragam perspektif mulai dari akademisi, pesantren, hingga fasilitator komunitas. “Rekomendasi yang muncul dari kerja-kerja lintas iman melalui isu lingkungan, termasuk di dalamnya feminisme, gender, kepemimpinan perempuan, perlu kita tulis dan kita sebarkan informasinya ke seluruh dunia, karena orang di seluruh dunia mencari inspirasi baik seperti ini,” tambahnya.
Talkshow ini menghadirkan tiga aktivis perempuan yang berkiprah dalam pendampingan masyarakat, yaitu Dewi Candraningrum, Thoatillah Jafar, dan Martdiana, serta Yuniyanti Chuzaifah sebagai moderator. Ketiganya membagikan pengetahuan dan pengalamannya dalam melibatkan anak muda dan perempuan di komunitasnya untuk membangun perdamaian dengan pendekatan isu lingkungan.
Dewi Candraningrum membagikan hasil kajiannya bahwa kerja-kerja domestic care cukup berhasil dilakukan oleh kelompok perempuan di berbagai daerah sebagai bentuk aksi protes mereka terhadap kerusakan lingkungan, seperti menenun, menjahit, memasak, hingga membuat dapur umum. Aksi-aksi tersebut mampu mengusir korporasi besar yang menjarah sumberdaya alam mereka. “Saya setuju mengenai gerakan lintas iman untuk bumi dan menjadikan kerusakan lingkungan sebagai common enemy, namun usulan strategisnya, gerakan ekologis harus politis, sehingga bisa mengajak kerjasama banyak pihak,” ungkap perempuan yang kini juga aktif sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Perempuan perlu ada di meja keputusan di mana pun di dalam kebijakan iklim. Baik sektor energi, teologis, karena ketika tafsirnya ada dan mencukupi, serta adil untuk bumi, para da’iyah atau pemimpin agama perempuan bisa kuat dalam menyuarakan kelestarian alam,” lanjutnya. Selain itu, menurut Dewi, aktor lintas iman perlu mendukung kepemimpinan perempuan, mendukung kesehatan reproduksi perempuan, mendudukkan perempuan di meja-meja keputusan, hingga mendanai organisasi perempuan.
Sedangkan Bu Nyai, sapaan akrab Thoatillah Jafar, Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, membagikan pentingnya ulama perempuan terlibat aktif melakukan pendidikan dalam rangka penyadaran, serta meningkatkan metode dakwah yang santun, ramah, dan penuh kasih sayang. “Kita semua sesama manusia memiliki hak dan kewajiban untuk saling menolong, membantu, dan mengingatkan dalam kebaikan,” katanya. Sebagai khalifah, lanjut Bu Nyai, manusia memiliki tanggung jawab penuh untuk melestarikan bumi dan isinya agar lestari, berkeadilan, dan tidak terjadi kerusakan.
Sebagai upaya melawan krisis iklim, Ia juga membagikan cerita program pesantren EMAS (Ekosistem Madani Atasi Sampah) di pesantren yang diasuhnya. “Di sini kami ajarkan kepada para santri untuk bahwa sampah atau barang-barang yang kemudian kita tidak pakai, masih bisa kita pilah, dan diolah untuk bisa kita manfaatkan kembali,” terangnya. “Ke depan kita perlu terus melakukan upaya penguatan kelembagaan perempuan untuk keadilan iklim, dan menciptakan kolaborasi yang lebih luas dengan lintas iman,” ucap Bu Nyai.
Adapun Martdiana, aktivis perempuan asal Poso yang memiliki pengalaman kelam dan terdampak konflik bernuansa agama di Poso 1998, membagikan pengalamannya dalam mendampingi kegiatan pertukaran pemuda lintas iman, di mana di kegiatan tersebut, pemuda Nasrani berkesempatan melakukan kegiatan dan tinggal selama dua malam di sebuah desa dengan penduduk mayoritas Muslim, begitu pula sebaliknya. Ia juga menceritakan bagaimana kisah perempuan penjual ikan melakukan rekonsiliasi dengan cara menjajakan ikan-ikannya ke desa yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani.
“Ruang perjumpaan yang terjadi antar individu dengan latar belakang agama yang berbeda ini, memberi mereka kesempatan untuk berdialog, berbagi kisah, dan menghilangkan prasangka antar satu dengan yang lain,” ungkapnya yang kini aktif sebagai fasilitator Sekolah Pembaharu Desa, Institute Mosintuwu Poso. “Kini kami fokus mengembangkan upaya pengelolaan sampah yang bisa mempunyai nilai ekonomis di desa, dengan melibatkan anak-anak muda dan ibu-ibu dari lintas iman, seperti membuat kerajinan tas, ecobrick, dan sebagainya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yuniyanti Chuzaifah, mantan Ketua Komnas Perempuan yang berperan sebagai moderator menambahkan bahwa hak asasi manusia adalah inti untuk menghubungkan upaya perlindungan terhadap alam. “Isu lingkungan adalah isu global, jadi dibutuhkan respon solidaritas global, termasuk lintas iman, dari antar agama, keyakinan, ataupun penghayat,” kata Yuni.
Isu pengelolaan sampah maupun isu serupa lainnya, menurut perempuan yang kini aktif melakukan pendampingan di isu-isu perempuan dan perdamaian ini, sebaiknya bukan hanya kegiatan, melainkan sebagai strategi dan jembatan menyeberangkan perdamaian manusia dan semesta, serta tidak mendiskriminasi kelompok tertentu. ”Dengan mendukung organisasi perempuan melalui pendanaan, itu merupakan bentuk konkrit kita untuk memastikan ruang gerakan ekologi untuk terus berlanjut,” tutupnya.
Editor : Ida Djumila