Gresik, beritaplus.id - Pemanfaatan plastik yang selama ini dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan ternyata menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Selain memicu risiko penyakit kanker, dampak lain bagi kesehatan ialah penyakit jantung, diabetes, gangguan pencernaan, dan saraf. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Ekskutif Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Daru Setyorini dalam Diskusi Publik dengan tema “Kandungan Racun Dalam Pelet Plastik Daur Ulang”.
Diskusi dalam rangka memperingati Hari Bumi tersebut digelar di aula Aescape Library and Naturalist Cafe di Dusun Krajan Gg. 3. RT 01 RW 05 Desa Wringinanom, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, pada Selasa siang, 24 April 2024.
“Pelet plastik daur ulang mengandung senyawa racun plastik yang menganggu sistem endokrin pada organisme hidup, termasuk manusia dan hewan. Juga mengganggu fungsi hormon termasuk gangguan perkembangan reproduksi,” ungkap Daru Setyorini dihadapan peserta diskusi yang terdiri dari sejumlah mahasiswa dan aktivis lingkungan hidup.
Peserta diskusi publik bersama pemateri
Dijelaskan Daru Setyorini, penemuan senyawa berbahaya dalam pelet plastik daur ulang berdasarkan hasil studi global yang diinisiasi oleh IPENN (International Pollutans Elimination Network) sejak tahun 2020. Dalam studi itu, ECOTON dan Indowatercop terlibat di dalamnya, termasuk 12 negara yaitu Indonesia, Argentina, Kamerun, Tanzania, Thailand, Togo, India, Malaysia, Mauritius, Nepal, Nigeria, Serbia, Taiwan.
Hasil studi menemukan terdapat 364 senyawa yang terdapat dalam kandungan pelet plastik daur ulang. Sampel yang diambil adalah pelet plastik daur ulang lokal berskala kecil dari jenis plastik high-density polyethylene (HDPE) karena merupakan salah satu jenis plastik yang paling banyak digunakan dan didaur ulang.
“Total 28 sampel pelet dari 13 negara tersebut diteliti oleh ilmuwan dari Swedia, Jerman, dan Denmark untuk analisis kimia. Dari 364 senyawa, ada 30 senyawa kimia yang termasuk senyawa berbahaya. Seperti N-Ethyl-o-toluenesulfonamide digunkan Plasticizer dengan konsentrasi 30,263, lalu Benzophenonen-3 digunakan Stabilizer dengan 9,889, N,N-Dimethyl-p-phenylenediamine di Polymer dengan 6,644, alpha-Tocopherol acetate di kosmetik dengan konsentrasi 1,918, Ametryn digunakan herbisida dengan 3,222, dan lain-lain. Di Jawa Timur, ada ribuan pabrik yang mengolah biji plastik. Kami ambil sampel terhadap beberapa pabrik tersebut,” jelas Daru Setyorini didampingi Azis selaku Deputi Eksternal dan Kemitraan ECOTON dan Aminudin Muttaqin selaku Ketua Project.
Dia mewanti-wanti kepada masyarakat agar mengurangi pemakaian plastik. Apalagi produk plastik hasil dari daur ulang. Dia mencontohkan, salah satu produk dari plastik hasil dari daur ulang ialah sedotan.
“Sedotan ada warna warni. Kebanyakan dari plastik daur ulang. Tampak dari warnanya kusam dan baunya tajam. Ada lagi peralatan rumah tangga untuk wadah makanan. Maka bahaya sekali jika dipakai karena terdapat racun dan senyawa berbahaya,” katanya.
Lalu bagaimana solusinya? Menjawab itu, Daru Setyorini memberikan beberapa rekomendasi. Yakni menginventarisir usaha daur ulang di tingkat Kabupaten atau Provinsi. Rekomendasi lain yaitu mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki posisi yang kuat dalam negoisasi INC-4 untuk melarang penggunaan zat aditif beracun dan mengendalikan timbulnya mikroplastik dan melabeli bahan berbahaya yang digunakan dalam proses produksi plastik.
Selain itu, mengendalikan aktivitas rantai daur ulang terutama oleh usaha mikro kecil menengah (UMKM) agar melakukan pengendalian pencemaran dan perlindungan kesehatan pekerja, serta mewajibkan industri plastik menjadi bapak asuh dari UKM pencacah plastik dalam pengendalian pencemaran lingkungan.
Berikutnya ialah melarang kegiatan daur ulang dengan teknologi pembakaran atau solusi palsu, membuat aturan baku mutu limbah cair dan emisi industri daur ulang plastik yang mengatur dan memantau lepasnya bahan kimia plstik dan mikroplastik.
Dan mengakhiri impor sampah plastik ke Indonesia untuk bahan baku daur ulang, lalu memaksimalkam pengumpulan sampah daur ulang di dalam negeri.
“Negara-negara maju umumnya mengekspor sampah plastik ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia didaur ulang lagi menjadi pelet, lalu menjadi produk plastik yang dipakai konsumen. Itu harus dihentikan,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Azis, Deputi Eksternal dan Kemitraan ECOTON merasa prihatin karena regulasi yang ada kurang tegas diterapkan dalam proses pemanfaatan dan daur ulang plastik. Semisal dalam Undang Undang (UU) nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah yang melarang pembakaran sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Nyatanya, masih banyak yang menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar. Salah satunya industri pembuatan tahu di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Sampah plastik yang dibakar tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri.
“Ada kelonggaran regulasi terkait implementasinya. Kendala lain ialah perusahaan sebagai produsen tidak memberikan roadmap pengurangan plastik untuk kemasan produknya. Seperti industri snack. Itu kemasannya ada 9 sampai 10 lapisan plastik. Tidak menutup kemungkinan racun di plastik itu tercampur makanan,” jelasnya. (*)
Editor : Ida Djumila