Jakarta, beritaplus.id – Polemik tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR RI memicu gelombang kritik. Meski pimpinan DPR menegaskan tidak ada kenaikan gaji pokok, tambahan fasilitas ini membuat penghasilan anggota DPR mendekati Rp100 juta per bulan.
Kontroversi semacam ini bukan pertama kali. Sejak dua dekade terakhir, wacana kenaikan gaji maupun tunjangan DPR kerap menimbulkan penolakan publik.
Baca juga: Jotangan Center Diduga Mubazir, Ormas KORAK: Harus Diusut Sesuai UU!
Gaji Pokok Tetap, Tunjangan Membengkak
Sesuai PP No. 75 Tahun 2000, gaji pokok DPR relatif kecil: Rp4,2 juta bagi anggota, Rp4,62 juta bagi wakil ketua, dan Rp5,04 juta untuk ketua DPR. Namun, berbagai tunjangan melekat tiap bulan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, listrik, telepon, subsidi pajak, hingga uang beras. Jika ditotal, penghasilan anggota DPR periode 2019–2024 sudah berkisar Rp50 juta per bulan.
Kini, dengan tambahan tunjangan rumah Rp50 juta, total pendapatan bisa menyentuh hampir Rp100 juta per bulan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan gaji pokok tidak naik.
“Gaji pokok DPR tidak naik sejak tahun 2000. Yang ada hanya pengalihan fasilitas rumah dinas menjadi tunjangan rumah. Semua bisa diawasi publik,” ujarnya, dikutip Detik.com, Kamis (21/8).
Jejak Historis kenaikan tunjangan DPR
2000 – Gaji pokok DPR ditetapkan melalui PP No. 75/2000, besarannya Rp4,2 juta untuk anggota biasa.
2004–2009 – DPR mendapat tambahan tunjangan komunikasi intensif. Besarannya mencapai Rp15 juta per bulan.
2010 – Pemerintah menambah tunjangan kehormatan dan fungsi pengawasan.
2015 – Tunjangan DPR dinaikkan signifikan melalui Peraturan Presiden No. 86/2015, meliputi tunjangan jabatan dan operasional. Saat itu publik memprotes karena kenaikan dilakukan saat ekonomi rakyat sedang sulit.
2018 – Wacana kenaikan tunjangan perumahan sempat mencuat, namun ditunda karena gelombang kritik.
2025 – Tunjangan rumah resmi disetujui sebesar Rp50 juta per bulan, menggantikan fasilitas rumah dinas.
Menurut catatan Tirto.id, pola yang sama selalu muncul: setiap kali DPR mendapatkan tambahan tunjangan, publik bereaksi keras karena menganggap tidak sebanding dengan kinerja legislatif.
Kritik masyarakat dan NGO
ICW memperkirakan tambahan tunjangan rumah akan membebani APBN hingga Rp1,74 triliun dalam lima tahun. Sementara CNN Indonesia mencatat, penghasilan DPR setara Rp3 juta per hari, jauh di atas pendapatan profesi vital seperti guru, perawat, dan buruh pabrik.
Sekjen Ormas Komunitas Rakyat Anti Korupsi, Syueb, menilai langkah DPR tidak peka terhadap rakyat.
“Saat rakyat susah membeli beras, DPR malah menambah tunjangan. Seharusnya tunjangan itu dipangkas untuk subsidi pangan rakyat kecil,” ujarnya, Jumat (22/8).
Di media sosial, tagar #DPRNaikGaji menjadi trending. Warganet menilai DPR semakin menjauh dari realitas masyarakat yang sedang berjuang di tengah tekanan ekonomi.
Dari 2000 hingga 2025, pola yang sama terlihat: gaji pokok DPR memang tidak naik, namun tunjangan terus bertambah dengan dalih penyesuaian kebutuhan. Sementara rakyat diminta berhemat, wakilnya justru menikmati kenaikan fasilitas. Polemik ini diprediksi akan terus berlanjut selama DPR tidak meninjau ulang kebijakan tunjangan yang dianggap membebani APBN dan mencederai rasa keadilan sosial.(*)
Editor : Redaksi