Esai Reflektif Dzulhijjah Fajar: Menavigasi Legitimasi Ganda di Era Polarisasi

Reporter : Murti

Malang - beritaplus.id | Dalam lanskap tata pemerintahan negara, terdapat lapisan-lapisan kepemimpinan yang kompleks, di mana ada sebagian pejabat negara mengemban tanggung jawab yang bersumber dari dua legitimasi yang berbeda: legitimasi elektoral/sosial dan legitimasi konstitusional/administratif. Dwi-legitimasi ini, meski memberikan kekuatan yang unik, juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam praktik kepemimpinan sehari-hari, terutama di era polarisasi yang semakin menguat.

Legitimasi elektoral/sosial diperoleh melalui proses pemilihan umum atau mekanisme penunjukan yang melibatkan partisipasi publik. Presiden, kepala daerah (Gubernur, Bupati, Kepala Desa, RT) dan anggota parlemen mendapatkan mandat ini langsung dari rakyat. Kemenangan dalam pemilihan adalah deklarasi kepercayaan publik, sebuah harapan yang diamanatkan kepada pemimpin untuk mewakili kepentingan dan aspirasi mereka.
 
Di sisi lain, legitimasi konstitusional/administratif bersumber dari hukum, peraturan, dan struktur pemerintahan yang ada. Mereka bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan, menegakkan hukum, dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
 
Kekuatan ganda yang dimiliki oleh para pejabat ini seringkali menghadirkan dilema loyalitas. Pejabat dengan legitimasi elektoral mungkin merasa terikat untuk memenuhi janji-janji kampanye, bahkan jika janji tersebut bertentangan dengan regulasi atau kepentingan nasional yang lebih luas.
 
Lantas, bagaimana para pejabat negara dapat menavigasi kompleksitas dwi-legitimasi ini? Bagaimana mereka menyeimbangkan tuntutan rakyat dengan imperatif konstitusi?
 
Transparansi dan Akuntabilitas: Keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambil adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik. Pejabat harus bersedia menjelaskan alasan di balik kebijakan yang diambil, serta mendengarkan dan merespons kritik dari masyarakat.

Baca juga: Bunda Lisdyarita Berikan Penghargaan kepada Atlet Jujitsu Ponorogo yang Mendunia

Partisipasi Publik: Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, melalui konsultasi publik, forum diskusi, atau mekanisme partisipasi lainnya, dapat membantu memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.

Baca juga: Desa Nongkodono Raih Predikat Desa Layak Anak

Kepemimpinan Visioner: Pejabat harus memiliki visi yang jelas tentang arah pembangunan negara, serta kemampuan untuk mengartikulasikan visi tersebut kepada masyarakat. Visi yang inspiratif dapat membantu menyatukan perbedaan pendapat dan membangun konsensus untuk mencapai tujuan bersama.

Baca juga: Esai Reflektif Dzulhijjah Fajar : Abdi Masyarakat Desa Jembatan Harapan Rakyat dan Program Negara

Kepemimpinan Etis: Integritas, kejujuran, dan komitmen terhadap keadilan adalah fondasi kepemimpinan yang kuat. Pejabat harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam setiap tindakan yang diambil, serta menghindari konflik kepentingan yang dapat merusak kepercayaan publik.
 
Di era modern ini, tantangan yang dihadapi oleh para pejabat dengan dwi-legitimasi semakin kompleks. Polarisasi politik yang semakin tajam, penyebaran disinformasi yang masif, dan meningkatnya ekspektasi publik yang seringkali tidak realistis, menuntut kemampuan kepemimpinan yang lebih adaptif dan responsif.
 
Pejabat harus mampu membangun jembatan komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat, mengatasi polarisasi politik yang seringkali didorong oleh kepentingan sempit, dan melawan penyebaran disinformasi yang dapat merusak tatanan sosial. Mereka juga harus mampu mengelola ekspektasi publik yang seringkali tidak realistis, serta memberikan solusi konkret untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di tengah arus informasi yang deras dan seringkali tidak akurat.
 
Pada akhirnya, esensi kepemimpinan yang efektif dengan dwi-legitimasi adalah pelayanan. Pejabat harus melihat diri mereka sebagai pelayan publik, yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh masyarakat. Di era polarisasi ini, pemimpin dituntut untuk menjadi pemersatu, bukan pemecah belah.
 
Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan etika, para pejabat negara dapat membangun kepercayaan publik, mengatasi tantangan yang ada, dan mewujudkan kepemimpinan yang melayani. Hanya dengan cara inilah, legitimasi ganda dapat menjadi kekuatan pendorong bagi kemajuan bangsa dan negara, bahkan di tengah pusaran polarisasi dan disinformasi.
 
Penulis adalah mahasiswa hukum semester akhir Universitas Merdeka Malang. (Murti)

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru