Jakarta- BERITAPLUS.id | Salah satu butir penting paparan yang menarik perhatian dalam acara Fokus Group Discussion "Quo Vadis Hutan Jawa," tanggal 19 Juli 2022 di Bandung yang antara lainh dihadiri oleh Nu'man (Wakil Gubernur Jawa Barat 2003-2008), Acil Bimbo (artis pegiat lingkungan) Eka Santosa (Ketua Forum Pembela Hutan Jawa) bahwa Belanda dahulu juga merencanakan Pulau Jawa di sebagian besar wilayahnya jadi hutan lindung.
Hal di atas ternyata selaras dengan pendapat Dr. Transtoto Handadhari yang bersama Ir. Firman Fahada, M.Sc pada tahun 2003 menyusun Land Position Map (LPM) yang mampu secara ilmiah mendeteksi lahan sensitif rawan bencana di Jawa.
IMG-20220724-WA0044Foto diskusi bersama sebelum acara Fokus Group Discussion "Quo Vadis Hutan Jawa," 19 Juli 2022 di Bandung
Dari catatan LPM diketahui bahwa luas lahan sangat rawan bencana (SRB) dan yang rawan bencana (RB) di dalam kawasan hutan Jawa seluas 1.694.756 hektare atau 12,73 persen dari daratan seharusnya dijadikan hutan lindung.
Sedangkan di luar kawasan hutan lahan SRB dan SR berjumlah 2.745.754 hektare atau sebanyak 20,62 persen dari daratan saat ini justru banyak berupa sayuran dan kentang yang seharusnya juga hutan lindung.
"Jadi hutan lindung seluruhnya yang diperlukan Jawa minimal 4.440.490 hektare atau 33,45 persen dari seluruh daratan Pulau Jawa yang luasnya 13,316 juta hektare", tutur Transtoto yang Planolog Senior Kehutanan lulusan UGM dan UW at Madison AS.
"Dari angka kebutuhan hutan lindung itu saja hutan Perhutani dan lainnya yang hanya sekitar 17-18 persen sebelum diambil untuk KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) seluas 1,1 juta hektar atau sebanyak 8,26 persen sudah tidak mampu mencukupi perlindungan bencana lingkungan. Belum lagi kalau dicermati sudah banyak hutan yang rusak dan lokasinya tidak tepat fungsi", jelas Transtoto.
Menurutnya untuk kecukupan hutan Jawa yang akan mampu melindungi seluruh wilayah dari bencana lingkungan perlu ditambahkan lahan agak rawan bencana (ARB) yang luasnya baik di dalam dan di luar kawasan hutan adalah 3.976.886 hektare (29,86 persen) sehingga total hutan lindung dan kawasan perlindungan minimal harus ada seluas 8.417.212 hektare atau sebanyak 63,48 persen yang disebut lahan sensitif.
"Itu belum ditambahkan bufferzone yang sangat dibutuhkan untuk penyangga serta hutan produksi sekitar 10-20 persen. Nampak bahwa ternyata perhitungan LPM untuk kecukupan hutan Jawa tersebut selaras dengan pemikiran pemerintahan kolonial Belanda", kesimpulannya.
"Yang menjadi masalah tata ruang wilayah Jawa dan Indonesia saat ini belum juga diperbaiki, sehinggao sulit dilakukan penetapan lokasi, luasan dan perlakuan kawasan hutan yang tepat dan benar. Penetapan hutan lindung yang masih menggunakan dasar SK Menteri Pertanian Nomor 837/1980 dengan variabel sederhana Lereng, curah hujan dan jenis tanah wajib diperbaiki dengan penggunaan tehnologi canggih minimal seperti LPM", ujar Transtoto, Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008 dan Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan (YPHI) menutup perbincangan. (Dzul)
Editor : Redaksi