Jakarta, beritaplus.id – Gelombang penangkapan aktivis, mahasiswa, dan penggiat media sosial pascakerusuhan 25 Agustus memantik keprihatinan luas. Pemerintah dinilai mengedepankan pendekatan kekuatan untuk meredam gejolak, sementara prosedur hukum kerap diabaikan.
Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai berujung bentrokan di sejumlah kota, menelan korban jiwa dan luka-luka. Polisi melaporkan lebih dari 3.000 orang ditangkap, dengan 55 orang telah ditetapkan tersangka. Di antara mereka terdapat tokoh organisasi masyarakat sipil dan pengelola akun media sosial yang kerap bersuara kritis.
Pengamat politik dan perubahan sosial dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dominique Nicky Fahrizal, menilai rangkaian penangkapan ini bukan sekadar langkah penegakan hukum.
“Ini pola mengembalikan ketertiban masyarakat setelah unjuk rasa besar,” kata Nicky, dikutip dari BBC News Indonesia.
Menurutnya, pemerintah mendapatkan momentum dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berjanji menindak tegas pendemo yang dianggap merusuh serta memberi kenaikan pangkat kepada polisi yang terluka dalam aksi.
“Kebetulan juga mendapat momentum dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang seperti melegitimasi untuk sweeping,” ujarnya.
Legitimasi itu pula, tambah Nicky, yang membuat aparat keamanan seperti mengabaikan prosedur sesuai undang-undang. “Merujuk aturan, penangkapan dan penahanan semestinya didahului surat pemanggilan. Ini di luar penindakan hukum yang proporsional,” katanya.
Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, diringkus polisi pada 1 September malam tanpa surat pemanggilan. Muzaffar Salim, staf Lokataru, juga ikut diamankan. Polisi menuding keduanya menghasut pelajar untuk turun ke jalan.
Kasus serupa menimpa Syahdan Husein, admin akun Instagram @gejayanmemanggil, yang ditangkap di Bali pada malam hari. Pihak keluarga mengaku tidak mendapat pemberitahuan resmi.
Polisi juga menangkap seorang pemuda berinisial RAP, dijuluki “Profesor R”, yang dituduh merancang bom molotov untuk menyerang aparat. RAP dijerat Pasal 160 KUHP, Pasal 45A ayat 3 jo. Pasal 28 ayat 3 UU ITE, dan Pasal 76H UU Perlindungan Anak karena diduga mengajak pelajar ikut aksi.
Amnesty International Indonesia, KontraS, dan LBH menyebut pola penangkapan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. LBH mencatat puluhan orang sempat “hilang” sebelum ditemukan di kantor polisi tanpa prosedur penahanan resmi.
“Jika pola ini dibiarkan, demokrasi bisa mundur. Negara seolah lupa bahwa stabilitas tanpa keadilan hanya menciptakan ketakutan,” ujar Usman Hamid dari Amnesty International.
KontraS menilai aparat lebih fokus memburu aktivis ketimbang mengungkap pelaku kekerasan terhadap demonstran. “Negara seharusnya melindungi hak berkumpul dan menyampaikan pendapat, bukan membungkam kritik dengan dalih keamanan,” kata perwakilan KontraS.
Pemerintah membela langkah tegas ini sebagai upaya menjaga ketertiban umum. Namun, pakar hukum dan aktivis mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia kini menghadapi ujian serius: bagaimana menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan kebebasan sipil.
“Penindakan hukum tidak boleh mengorbankan prinsip due process of law. Kalau prosedur diabaikan, hukum kehilangan wibawa,” ujar Nicky.
Seiring gelombang kritik, publik menunggu apakah pemerintah akan mengevaluasi langkah represif ini atau justru mempertahankannya demi stabilitas jangka pendek. (*)
Editor : Redaksi