Surabaya, beritaplus.is |
Setelah lama mengembara menapaki bumi Jawa Dwipa, Bejo mendadak teringat pesan Romo Guru: “Jika engkau selesai menimba pengalaman, segera kembalilah ke Padepokan Lemah Abang.”
Namun kaki Bejo enggan terburu. Hatinya masih haus pada jejak-jejak leluhur. Dari satu petilasan ke petilasan lain ia singgahi, seakan setiap tapak menyimpan rahasia yang tak selesai dibaca.
Bejo berjalan seorang diri menembus kabut malam. Angin dari lereng Gunung wukir membawa harum dupa yang entah dari mana asalnya. Suara jangkrik seakan berhenti tiap kali ia menjejakkan kaki. Di dadanya, pesan Romo Guru terus terngiang: “Bejo, jangan terlalu jauh. Pulanglah ke Lemah Abang ketika waktumu tiba.”
Namun, langkah Bejo seakan tak bisa dikendalikan. Dari satu petilasan ia singgah ke petilasan lain. Di Mugassari, Semarang, ia tiba di makam Pangeran Pandanaran. Hening malam dipecah hanya oleh bacaan ayat-ayat suci yang meluncur dari bibirnya. Saat itu, angin berputar aneh, cahaya rembulan terpecah seperti pecahan kaca, dan dari dalam dirinya terdengar bisikan:
“Naiklah ke Gunung Wukir, di sanalah ujian sejati menantimu.”
Tanpa sadar, Bejo menutup mata, menundukkan kepala, dan melakukan muko jiwo—meluruhkan raganya agar ruhnya bisa berjalan. Ia mendapati dirinya menapaki jalan berlapis kabut, di mana batu-batu seakan bernafas dan pepohonan berbisik dalam bahasa yang asing.
Di lereng gunung, muncullah Minak Menjangan. Matanya merah bagai bara, tanduknya berkilat seperti besi panas. Dengan suara yang menggema, ia berkata:
“Tak semua yang mencari puncak berhak mencapainya. Uji nyalimu, Bejo!”
Pertarungan pun terjadi, bukan dengan tangan, melainkan dengan getaran batin. Setiap kali Bejo mengucap doa, cahaya hijau membungkus tubuhnya, melemahkan amarah Minak Menjangan hingga akhirnya ia tunduk.
Belum sempat menarik nafas, muncul Gajah Manik, tubuhnya sebesar gunung kecil, kulitnya berkilau laksana intan hitam. Ia menginjak tanah hingga bumi bergetar. Namun Bejo berdiri teguh, menyalakan zikir dari dalam jiwa. Gajah Manik meraung, lalu lenyap menjadi kabut perak.
Satu demi satu penunggu Gunung Wukir menampakkan diri—dari bayangan hitam yang berwujud raksasa hingga suara-suara tanpa rupa. Semua ia hadapi dengan keteguhan hati. Hingga akhirnya Bejo berdiri di puncak, di atas dunia fana, di bawah langit yang tak lagi biru, melainkan berlapis cahaya gaib.
Di sanalah ia merasa menang, merasa telah menaklukkan segala hal. Tapi justru pada puncak kemenangan itulah ia lupa. Lupa bahwa Romo Guru hanya menitipkan pesan sederhana: pulang ke Lemah Abang.
Dan malam itu, di puncak Gunung Wukir, Bejo duduk seorang diri. Angin mengelilinginya, bisikan leluhur menggema. Tapi jalan pulang telah hilang dari ingatannya. Yang tersisa hanya sunyi. (bersambung)
Editor : Redaksi