Komisi C DPRD Gresik Sidak Lokasi Tambang Galian C

beritaplus.id
Nur Saidah saat sidak lokasi tambang galian c

GRESIK, BeritaPlus.id - Kegiatan operasional penambangan di Kabupaten Gresik rupanya banyak yang melanggar safety, termasuk di dalamnya aspek K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Hal ini terungkap saat dilakukannya inspeksi mendadak (sidak) oleh Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Gresik ke lokasi tambang galian c di wilayah Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik.

Salah satu yang turut serta melakukan sidak ialah Nur Saidah. Politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini menemukan banyak pekerja tambang galian c yang tidak patuh terhadap K3.

Baca juga: Tamban Ilegal di Gresik Belum Ditangani Serius oleh Aparat

"Contoh salah satu penambangan yang tidak memperhatikan safety K3. Jika bekerja, harusnya pekerja mengantongi safety K3," ungkap Nur Saidah saat melihat beberapa pekerja tambang galian c yang tidak memakai alat pelengkap keselamatan kerja (APK) di lokasi tambang belum lama ini.

Jika dilihat, pekerja rawan kecelakaan. Karena mereka bekerja di atas tebing yang curam. Tebing tersebut rawan longsor, apalagi sambil dilakukan eksploitasi dengan mengeruk lahan menggunakan alat berat berupa ekscavator.

Nur Saidah juga prihatin melihat lahan bekas tambang yang tidak direklamasi. Dia mendesak agar para pengusaha wajib melakukan reklamasi pasca tambang dan mengembalikan seperti peruntukkan awal.

"Perizinan ada. Fokus ke kerusakan alam yang ditimbulkan pasca tambang. Recovery-nya seperti apa? Harusnya ada siteplan dan tentu tidak ada faktor kerusakan alam," katanya.

Diulas dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Gresik, pendapatan dari pajak daerah sampai dengan Desember 2024 ini, penyerapannya masih rendah, hanya 85,07% atau senilai 879,39 miliar dari target Rp 1,033 triliun. Pajak tersebut di dalamnya terdapat Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan diatur dalam :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

a. Pasal 1 angka 29 menyebutkan bahwa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik
dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

b. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa pajak kabupaten/kota terdiri atas :

1) Pajak hotel;
2) Pajak restoran;
3) Pajak hiburan;
4) Pajak reklame;
5) Pajak penerangan jalan;
6) Pajak mineral bukan logam dan batuan;
7) Pajak parkir;
8) Pajak air tanah;
9) Pajak sarang burung walet;
10) Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan; dan
11) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

c. Pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang
meliputi:

a. Asbes;
b. Batu tulis;
c. Batu setengah permata;
d. Batu kapur;
e. Batu
apung;
f. Batu permata;
g. Bentonit;
h. Dolomit;
i. Feldspar;
j. Garam batu
(halite);
k. Grafit;
l. Granit/andesit;
m. Gips;
n. Kalsit;
o. Kaolin;
p. Leusit;
q. Magnesit;
r. Mika;
s. Marmer;
t. Nitrat;
u. Opsidien;
v. Oker;
w. Pasir dan kerikil;
x. Pasir kuarsa;
y. Perlit;
z. Phospat;
aa. Talk;
bb. Tanah serap (fuller earth);
cc. Tanah diatome;
dd. Tanah liat;
ee. Tawas (alum);
ff. Tras;
gg. Yarosif;
hh. Zeolit;
ii. Basal;
jj. Trakkit; dan
kk. Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Pasal 57 ayat 2 menyatakan bahwa Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

1) kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata
tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah
untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon,
penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;

2) kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan
ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara
komersial; dan

3) pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.

e. Pasal 58 menyatakan bahwa Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam
dan Batuan, sedangkan Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.

f. Pasal 59 menyatakan bahwa:

1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual
Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

2) Nilai jual dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan
dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan
Logam dan Batuan.

3) Nilai pasar adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah
daerah yang bersangkutan.

4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga
standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang
pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

g. Pasal 60 menyatakan bahwa Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.

h. Pasal 61 menyatakan bahwa:

1) Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 60 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

2) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca juga: Tambang di Desa Bulujowo, Ancam Kelestarian Situs Gunung Celeng

a. Pasal 6 ayat 1 huruf h menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, berwenang menetapkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam dan WIUP batuan.

b. Pasal 66 menyatakan bahwa kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana
dimaksud pada pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut:

1) Pertambangan mineral logam;
2) Pertambangan mineral bukan logam; atau
3) Pertambangan batuan.

c. Pasal 67 menyatakan bahwa:

1) Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan oleh seorang Menteri kepada:

a) Orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau

b) Koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.

2) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon
harus menyampaikan permohonan kepada Menteri.

d. Pasal 86A menyatakan bahwa:

1) Surat Ijin Penambangan Batuan (SIPB) diberikan untuk pengusahaan pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu.

2) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan kepada:

a) Badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa;

b) Badan usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri;

c) Koperasi; atau

d) Perusahaan perseorangan.

Baca juga: Tambang di Desa Bulujowo, Ancam Kelestarian Situs Gunung Celeng

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

4) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari badan usaha milik daerah/badan usaha milik
desa, badan usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri, koperasi, atau perusahaan perseorangan, yang telah memenuhi persyaratan
administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

5) Selain persyaratan administratif teknis, lingkungan, dan finansial, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan SIPB harus dilengkapi dengan koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang dimohon.

6) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahapan kegiatan
perencanaan, penambangan, pengolahan serta pengangkutan dan penjualan.

7) Pemegang SIPB dapat langsung melakukan penambangan setelah memiliki dokumen perencanaan penambangan.

8) Dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas:

a) Dokumen teknis yang memuat paling sedikit informasi cadangan dan
rencana penambangan; dan

b) Dokumen lingkungan hidup.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

a. Pasal 52 menyatakan bahwa Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).

b. Pasal 53 menyatakan bahwa Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.

c. Pasal 54 menyatakan bahwa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut dengan sistem Self Assesment.

d. Pasal 55 menyatakan bahwa Masa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

e. Pasal 56 menyatakan bahwa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang
terutang terjadi pada saat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan
dilakukan. (*)

Editor : Ida Djumila

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru