Jogjakarta - berotaplus.id | Ratusan tahun lalu, bahkan lebih, konon turunan jaman Ken Arok (mungkin seloroh umum), menganggap kecurangan dan balas dendam mewarisi budaya masyarakat ini.
Dahulu orang asing banyak bertanya darimana orang Indonesia hidup dan beli mobil dengan gajinya yang kecil atau pas-pasan itu?
Baca juga: Akafarma Sunan Giri Ponorogo Rilis Pernyataan Resmi Terkait Dugaan Pemotongan Dana KIP Kuliah
Praktiknya dengan usaha srabutan, makelar tanah, jual kambing, piara sapi, buruh tani, dan jadi kuli pasar semua tercukupi. Kejuangan dan kesabaran manusia nusantara memang luar biasa.
Kondisi kini berubah. Kemewahan bertebaran menggiurkan mata. Kalau dulu ajarannya leluhur kerja apa saja asal halal, sekarang yang haram-pun sering ditabrak.
Korupsi menjadi biang kerusakan moral yang dianggap sudah biasa. Sogok-menyogok dalam urusan apapun menjadikan bangsa ini tidak bermartabat, dihina, dan dilecehkan.
Akar masalah pokoknya bahwa penghasilan yang sangat rendah di masyarakat, tidak cukup untuk sekedar makan, sulit cari kerja, kemiskinan dan beban kebutuhan hidup terus meningkat.
Kesenjangan kesejahteraan yang luar biasa antara sekelompok besar masyarakat miskin dibandingkan segelintir orang yang sangat kaya membentang luas.
Aturan dan
hukum juga nyaris tidak berjalan. Semua membutuhkan uang.
Kondisi seperti itu melahirkan perilaku korupsi, mencuri, penyahgunaan wewenang, pembohongan, berjudi, curang (cheating), tak malu meminta-minta, hutang tidak bayar (ngemplang), merampok, bertaburannya mafia perijinan, percaloan, premanisme, jadi TKW, sampai jual diri dan lainnya.
Hal buruk itu ditambahi sifat serakah yang tidak pernah cukup, munafik, dan sadar tidak tahu malu. Padahal semua sudah terang benderang. Uang jadinya di-"Tuhan"-kan. Semua jadi lancar dan baik kalau ada uang pelicin.
Perilaku bawahan jadi penakut dan bias, ABS katanya. Yang berlaku lurus dijauhkan dari komunitas, sangat lumrah anak buah yang tidak menghasilkan uang dijauhkan dari posisi basah.
Serba salah memamg. Keimanan dipertanyakan. Masyarakat dihadapkan pada jeritan kebutuhan riil, dan pajak. m
Manusia goyah lihat uang (haram-pun).
Sebagian besar mencari alibi pembenaran tanpa malu karena sudah tahu.
"Pendapatan yang amat sangat tidak mencukupi kebutuhan primer jelas menjadi sumber perilaku keburukan, apalagi bagi orang-orang tertentu yang sudah jahat dari sananya. Tak peduli hak siapapun diembat tanpa nurani", ujar Dr. Transtoto Handadhari, rimbawan senior KAGAMA UGM Yogyakarta datar.
"Dlsparitas penghasilan yang sangat menyolok antara masyarakat umum yang memiliki income 2-3 juta sebulan dengan sekelompok kecil milyarder apalagi triliuner. Tidak terbayang bila seseorang ada yang konon bisa menghabiskan uangnya se-milyar sehari untuk hidup lebih dari 700 tahun (?)", lanjut Transtoto menahan heran.
Baca juga: Transtoto : Technologi Canggih Bisa Meningkatkan Penipuan Dan Tidak Mendidik
"Tapi harus pula diketahui, orang-orang yang maha-kaya itu tidak semuanya koruptor. Disamping punya kewenangan, modal, koneksi, kerabat, kekuasaan dan keberuntungan. Aturan yang bikin ketimpangan itu resmi sah dari pemerintah (kecuali yang bodong, hasil kongkalikong). Dan penggelapan kerja fiktf.
Aturan itu yang harus dicermati ulang. Semua rente ekonomi pendapatan pengusahaan sumber daya alam harus dibatasi sewajarnya. Patokannya marjin usaha itu seperti bunga Bank. Selebihnya untuk negara untuk kesejahteraan rakyat", imbuhnya serius.
Penghasilan dasar yang layak sekitar 3 ribu dolar US sebulan (sekitar Rp.35-50 ribu sebulan) adalah relatif wajar. Bisa dicapai apabila pemerintah, aparat hukum, polisi dan lainnya bersih. Apalagi kalau pasangan ikut bekerja.
"Diharapkan pemerintah bisa dengan bijak dan bersih-transparan mengelola sumber daya yang kayaraya untuk kesejahteraan rakyat semua. Dengan
kemudahan berinvestasi, keuntungan yang wajar, pengawasan yang efektif serta hukum yang tajam dan adil (apa harus membuat warga dihukum mati?). Pemerintah tentu bisa melaksanakan pengelolaan negara dengan bijak untuk berkembang menuju adil dan makmur serta bermartabat", tutup Transtoto penuh harap.
(Murti)
Editor : Redaksi