Lupa Jalan Pulang : Wangsit Pandanaran (part 2)

beritaplus.id

Cerita fiktif : by kang bejo

Malam turun pelan di Mugassari, Semarang. Langit menggantung berat, rembulan separuh tersaput awan tipis. Bejo melangkah perlahan ke halaman petilasan Pandanaran. Aroma bunga kenanga dan melati menguar, bercampur dengan wangi tanah basah selepas hujan sore tadi.

Baca juga: Lupa Jalan Pulang: Suluk Bejo di Puncak Wukir

Ia menunduk hormat di depan makam Pangeran Pandanaran. Tangannya merangkap, bibirnya bergetar lirih, menyalurkan ayat-ayat suci yang teralun seperti riak air. Hening terasa dalam, seakan bumi ikut mendengar.

Saat ayat ketujuh selesai terucap, angin berputar tiba-tiba. Daun-daun jati bergemerisik tanpa sebab, dan pelita kecil di sisi makam padam tertiup hembusan gaib. Rasa dingin merayap ke tulang, tapi hati Bejo tetap teguh.

Lalu, dari dalam dirinya sendiri, terdengar suara. Bukan suara manusia, melainkan gema yang dalam, bergema bagai riak gong purba:

“Wahai anak pengembara… bukan di sini tujuanmu. Naiklah ke Gunung Wukir. Di sana terletak kunci dari jalan hidupmu.”

Bejo membuka mata. Sekelilingnya tetap sama—makam sunyi, pepohonan diam. Tapi telinganya masih bergetar, seakan suara itu tak berasal dari luar, melainkan dari kedalaman jiwanya.

Dengan perlahan ia menutup mata lagi, menundukkan kepala, lalu berbisik lirih:
“Romo Guru, apakah ini jalan yang kau maksud? Ataukah aku sedang diuji oleh bayangan sendiri?”

Ketika ia tenggelam dalam doa, tubuhnya terasa ringan. Nafasnya makin panjang, pikirannya melayang. Ia memasuki keadaan muko jiwo, menanggalkan raganya agar ruhnya dapat berjalan lebih jauh.

Dalam alam bawah sadar itu, ia melihat jalan panjang yang dipenuhi kabut. Di kejauhan, siluet gunung menjulang, hitam pekat, bagaikan punggung naga tidur. Gunung itu memanggilnya. Gunung Wukir.

Bejo melangkah. Setiap injakan kakinya menimbulkan gema, seakan ribuan kaki lain ikut berjalan di belakangnya. Sesekali ia menoleh, namun hanya kabut pekat yang membalas tatapannya. Dari sela kabut itu, kadang muncul bayangan samar—seperti prajurit bersenjata tombak, kadang perempuan berkain putih yang hanya diam menunduk.

Semakin jauh ia menapaki jalan, hawa semakin berat. Dadanya terasa ditekan, namun pusarnya bergetar hebat. Ia teringat pesan Romo Guru:
“Jika tubuhmu bergetar tanpa sebab, itu tandanya jagad dalam sedang berhubungan dengan jagad luar. Jangan takut, ikuti arusnya.”

Tiba-tiba, dari tengah kabut, muncul cahaya redup, seolah obor kecil menyala tanpa tangan yang menggenggam. Cahaya itu bergerak perlahan, menuntun Bejo ke arah lereng gunung. Namun setiap kali ia hendak mendekat, terdengar suara-suara samar: tangisan bayi, gong dipukul dari jauh, bahkan gamelan yang suaranya seirama dengan degup jantungnya.

Sampailah ia di sebuah gapura batu purba. Ukirannya penuh dengan aksara Jawa kuno, sebagian sudah tergerus waktu. Namun tiga kata terlihat jelas, berkilat bagai bara:

“Sapa weruh, urip.”
(Barang siapa memahami, ia akan hidup sejati).

Bejo hendak melangkah masuk, tapi tanah bergetar keras. Dari arah kegelapan muncul sosok tinggi berselimut kabut pekat. Matanya merah menyala, suaranya menggelegar, berat bagai batu ditumbuk ke bumi:

“Wahai pengembara… apakah kau siap menanggalkan dunia, untuk menjemput rahasia yang bahkan para raja pun tak kuasa memilikinya?”

Bejo gemetar, tapi hatinya teguh. Dengan tangan terkatup, ia menjawab lirih:
“Aku datang bukan untuk dunia, tapi untuk kebenaran yang dijanjikan leluhur.”

Seketika kabut menebal, cahaya obor padam. Dunia gaib itu berputar cepat, seperti pusaran hitam menelan segalanya. Bejo merasa tubuhnya tertarik, jatuh tanpa dasar. Dalam kegelapan itu hanya satu nama yang bergaung di telinganya:

Gunung Wukir.

Bejo tersentak, membuka mata. Nafasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat. Namun sekelilingnya tetap sama—makam Pandanaran, pepohonan diam, pelita yang kini menyala kembali seolah tak pernah padam.

Tapi ia tahu, apa yang barusan dialaminya bukan mimpi. Itu adalah wangsit. Panggilan. Dan kini, langkahnya tak bisa lagi mundur. Jalan menuju Gunung Wukir sudah terbuka, meski misterinya masih tersembunyi rapat.

Malam semakin larut. Dari kejauhan, lolongan anjing bersahutan. Bejo berdiri tegak, menunduk sekali lagi di depan makam Pandanaran, lalu berbisik pelan:

“Romo Guru… aku akan berangkat. Jika benar ini ujian, biarlah aku menghadapinya. Jika benar ini jalan, biarlah aku menempuhnya sampai akhir.”

Dengan langkah mantap, ia meninggalkan petilasan itu. Angin kembali berhembus, kali ini lebih lembut. Seakan alam pun ikut mengantar.

Namun jauh di balik pepohonan, ada sepasang mata yang mengawasinya. Mata itu bukan milik manusia.(bersambung) 

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru