SURABAYA, beritaplus.id – Malam itu, Sabtu (30/8/2025), udara Surabaya terasa pengap. Jalan Basuki Rahmat yang biasanya ramai dengan lalu lintas kendaraan berubah menjadi lautan massa. Dari kejauhan, suara teriakan bercampur dengan bunyi benda terbakar. Tak lama kemudian, kobaran api menjilat langit malam dari arah Polsek Tegalsari.
Bagi warga sekitar, pemandangan tersebut seperti adegan yang sulit dipercaya. Kantor polisi yang biasanya berdiri kokoh sebagai simbol keamanan, justru menjadi lautan api. “Pas lewat sini, ambil foto sekalian tadi, terbakar semua ruangannya,” kata Surya (39), seorang warga, sambil menunjuk ke arah bangunan yang sudah nyaris rata dengan tanah (detikJatim).
Menurut laporan Times Indonesia, kebakaran di Mapolsek Tegalsari terjadi sekitar pukul 00.33 WIB. Awalnya, massa yang bergerak dari Grahadi sempat membakar sejumlah benda di jalan. Namun kemarahan itu kemudian beralih ke kantor polisi yang berdiri di kawasan strategis pusat kota.
Bangunan yang masuk kategori cagar budaya itu tak kuasa menahan amukan api. Plakat bertuliskan “Polsek Tegalsari” bahkan dicoret dan diganti dengan tulisan penuh amarah: “Polisi Pembunuh.”
Asap hitam pekat mengepul, memaksa pengendara berhenti dan warga menutup hidung dengan kain seadanya. Jalan raya lumpuh total.
Di gang-gang sekitar Tegalsari, warga berkerumun, menatap api dengan cemas. Ada yang sibuk merekam, ada yang hanya terdiam. Di wajah mereka, tampak rasa takut bercampur penasaran.
Seorang ibu rumah tangga yang enggan disebut namanya mengaku khawatir akan ada korban jiwa. “Saya cuma bisa berdoa semoga tidak ada petugas atau tahanan di dalam. Ngeri lihat apinya,” katanya dengan suara bergetar.
Ironisnya, kejadian malam itu bukanlah yang pertama. Sehari sebelumnya, Jumat (29/8), Polsek Tegalsari juga menjadi sasaran amuk massa. Sejumlah fasilitas kantor dirusak—dari pintu, kaca jendela, hingga ruang SPKT, sebagaimana dilaporkan Suara Surabaya.
Dua malam berturut-turut kerusuhan ini membuat kawasan Tegalsari dan sekitarnya diliputi ketegangan. Kota Pahlawan yang biasanya ramai dengan aktivitas bisnis kini berubah menjadi kota yang dibayangi rasa was-was.
Pagi harinya, Minggu (31/8), sisa asap masih mengepul dari puing-puing bangunan. Petugas pemadam kebakaran dan Dinas Lingkungan Hidup sibuk membersihkan jalan dari bongkahan kayu, kaca, dan puing bangunan. Dua mobil damkar disiagakan di depan kantor polisi yang sudah tak lagi berbentuk.
Surabaya, kota yang dikenal sebagai pusat perlawanan, kini harus menghadapi kenyataan pahit: salah satu simbol keamanannya luluh lantak di tengah amarah massa. (Syd)
Editor : Redaksi