x beritaplus.id skyscraper
x beritaplus.id skyscraper

Opini : Saat Debt Collector Jadi Wajah Gelap Negara Hukum

Avatar
beritaplus.id
Selasa, 11 Nov 2025 05:00 WIB
Hukum dan Kriminal

Surabaya, beritaplus.id | Siang itu, jalan raya yang ramai di Surabaya tiba-tiba menjadi panggung ketegangan. Seorang pria pengendara mobil berhenti karena dihadang beberapa orang berbaju preman. Mereka memaksa mengambil kunci kendaraan sambil mengaku dari perusahaan pembiayaan. Tidak ada surat resmi, tidak ada aparat. Hanya suara keras dan tatapan intimidatif. Dalam hitungan menit, mobil beserta barangnya raib.

Pemandangan seperti ini bukan hal asing di berbagai kota di Indonesia. Fenomena debt collector atau penagih utang sering kali menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Ironisnya, praktik tersebut terjadi di negara yang mengaku sebagai negara hukum.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, setiap tindakan harus berlandaskan aturan, bukan kekuasaan atau kekerasan. Namun dalam praktiknya, sebagian lembaga pembiayaan justru menyerahkan proses penagihan kepada pihak ketiga yang bertindak semaunya.

Padahal, dalam sistem hukum perdata, hubungan antara kreditur dan debitur adalah hubungan perjanjian. Jika terjadi wanprestasi, penyelesaiannya harus melalui mekanisme somasi, mediasi, atau gugatan ke pengadilan — bukan melalui aksi sepihak di jalan raya.

Dasar hukum yang mengatur hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang kemudian diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. MK menegaskan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia hanya bisa dilakukan jika debitur mengakui wanprestasi dan bersedia menyerahkan objek secara sukarela. Jika tidak, maka kreditur wajib meminta penetapan eksekusi dari pengadilan negeri.

Dengan demikian, tindakan debt collector yang menarik kendaraan tanpa putusan pengadilan merupakan pelanggaran hukum yang nyata.

Dalam dunia pembiayaan, keberadaan debt collector sebenarnya diakui sepanjang mereka bertindak beretika dan profesional. Namun kenyataan di lapangan sering jauh dari itu. Banyak di antara mereka tidak memiliki pelatihan hukum, tidak memahami etika penagihan, bahkan tidak memiliki izin resmi.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 35/SEOJK.05/2018 sebenarnya telah menegaskan bahwa penagihan hanya boleh dilakukan dengan sopan, tanpa kekerasan, dan oleh tenaga penagih yang bersertifikat. Sayangnya, pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini masih lemah, sementara perusahaan pembiayaan kerap berlindung di balik dalih “bukan tanggung jawab kami”.

Padahal, ketika penagihan dilakukan dengan intimidasi, lembaga pembiayaan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana. Bahkan tindakan pengambilan kendaraan secara paksa dapat dikategorikan sebagai pemerasan (Pasal 368 KUHP) atau perampasan (Pasal 365 KUHP).

Debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran memang berkewajiban melunasi utangnya, tetapi mereka tetap memiliki hak untuk dilindungi dari tindakan sewenang-wenang. Sayangnya, banyak masyarakat yang belum memahami hal ini. Ketika kendaraannya dirampas di jalan, sebagian memilih diam karena takut atau tidak tahu harus melapor ke mana.

Padahal, setiap tindakan penarikan kendaraan tanpa dokumen resmi dapat dilaporkan ke Kepolisian dengan dasar dugaan tindak pidana perampasan atau pemerasan. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat kehilangan haknya hanya karena berhadapan dengan pihak yang lebih kuat.

Untuk memutus rantai kekerasan dalam praktik penagihan, perlu langkah nyata dari berbagai pihak:

1. OJK harus memperketat pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa debt collector. Hanya pihak yang memiliki izin dan sertifikasi yang boleh menjalankan fungsi penagihan.

2. Polri harus tegas menindak setiap tindakan penarikan di luar hukum. Tidak ada alasan pembenaran untuk perampasan atas nama penagihan kredit.

3. Masyarakat perlu edukasi hukum. Debitur wajib membayar, tetapi juga berhak atas perlindungan. Jika terjadi penarikan tanpa surat, laporkan!

4. Diperlukan lembaga mediasi pembiayaan di bawah pengawasan pemerintah untuk menyelesaikan sengketa antara kreditur dan debitur secara adil tanpa kekerasan.

Langkah-langkah ini bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional yang seharusnya beradab.

Negara hukum tidak boleh memberi ruang bagi “premanisme berseragam”. Penegakan hukum tidak hanya ditujukan kepada rakyat kecil, tetapi juga kepada korporasi besar yang menggunakan tangan-tangan kekerasan dalam menagih piutang.

Keadilan sejati tidak lahir dari ancaman atau kekuatan fisik, melainkan dari keberanian menegakkan hukum secara benar. Karena pada akhirnya, utang bisa dibayar dengan uang, tapi harga diri manusia tidak bisa dibayar dengan kekerasan.

Penulis: Efianto, S.H., M.H.

Advokat dan Pemerhati Hukum Perdata

Ketua Harian Perkumpulan Lawyer & Legal Konsultan Indonesia

Editor : Ida Djumila

Artikel Terbaru
Selasa, 11 Nov 2025 06:51 WIB | Politik dan Pemerintahan
Surabaya, beritaplus.id | Rencana pembangunan gedung baru SMP Negeri Medokan Ayu, Kota Surabaya, kembali menjadi perhatian publik. Setelah sebelumnya ditemukan ...
Selasa, 11 Nov 2025 05:30 WIB | Ekbis dan Hiburan
Jakarta, beritaplus.id – Semangat kepahlawanan tak hanya hidup di masa lalu. Bagi Pertamina Patra Niaga, semangat itu hadir dalam setiap langkah, di balik k ...
Selasa, 11 Nov 2025 05:27 WIB | Ekbis dan Hiburan
Bali, beritaplus.id – PT Pertamina Patra Niaga menggelar Pertamina Aviation Global Summit 2025, forum yang mempertemukan para pemangku kepentingan di industri p ...